Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu
Prajurit Profesional Sejati
Mantan Kepala Staf AD yang sempat dicalonkan Presiden Megawati menjadi Panglima TNI, ini seorang prajurit sejati yang memiliki kecerdasan emosional, intelektual dan spiritual. Mantan Pangkostrad ini kelahiran Palembang, 21 April 1950, ini selain sangat irit bicara soal politik, juga dikenal taat menjalankan ibadah agama.
Mantan Pangkostrad ini senantiasa meminta kekuatan lahir dan batin agar mampu menjalankan amanah sebagai tentara yang bertaqwa dan dimuliakan Allah.
Prajurit pejuang ini selain sangat irit bicara soal politik, juga dikenal taat menjalankan ibadah agama. Sejak masa muda, ia bercita-cita dan bertekad menjadi prajurit yang baik, profesional dan bertakwa.
Ryamizard Ryacudu lahir dan dibesarkan dalam keluarga tentara. Ayahnya yang bernama Ryacudu (almarhum), adalah seorang brigadir jenderal TNI purnawirawan yang ketika berdinas aktif dikenal sebagai seorang pengagum dan kepercayaan Presiden Soekarno.
Keluarga ini juga dikenal sangat menekankan pentingnya pendidikan agama. Maka ketika kecil, Ryamizard dijuluki “Si Hadis” karena kepandaiannya menghafal sejumlah hadis Rasulullah. Panggilannya meningkat lagi menjadi “Pak Kiai” saat ia taruna militer.
Ia memang taat menjalankan ibadah agama, salat lima waktu dan puasa sunnah Senin-Kamis. Ketika menjabat Pangdam V Brawijaya pun, dengan pangkat jenderal bintang dua, dia sering mengikuti berbagai macam kajian keagamaan termasuk tasawuf dan tarekat dengan berpegang pada Al-Qur’an dan hadis Rasul.
Sehingga ia tersepuh menjadi seorang prajurit yang memiliki bekal kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, yang menuntunnya menjadi prajurit profesional yang baik dan bertaqwa. Selain dengan mengandalkan kedalaman kecerdasan dan keterampilan kemiliteran (intelektual) dan pengendalian emosi (kecerdasan emosional), dia senantiasa meminta kekuatan lahir dan batin (kecerdasan spiritual) agar mampu menjalankan amanah sebagai tentara yang bertaqwa dan dimuliakan Allah.
Kebanggaan akan figur ayah menjadi alasan utama Ryamizard memutuskan masuk tentara. Tidak ada unsur keterpaksaan. Kebanggaan akan figur itu disebabkan oleh sang ayah selain sangat menekankan pentingnya pendidikan agama dalam keluarga, sepanjang berkarir di militer pun si ayah mengabdikan seluruh hidupnya bagi bangsa dan negara. Pesan Sang Ayah kepada Ryamizard adalah agar menjadi tentara yang profesional.
Selain memedomani pesan tersebut, sikap keras ayah ikut pula diwarisinya. Dia melihat bahwa negara ini adalah milik seluruh bangsa Indonesia. Karena itu, kalau ingin negara ini aman tenteram, maka seluruh bangsa Indonesia sendirilah yang harus membuatnya.
Dalam menjalankan tugas, ia selalu berupaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal itu didorong keinginannya menjadi prajurit yang baik, profesional dan bertakwa.
Ia pun telah menjadi seorang prajurit sejati yang profesional, sesuai keinginan sang ayah. Komitmen profesionalisme militer itu pernah ditunjukkannya bersama rekan-rekan seangkatannya lulusan AMN 1973, dalam buku “Indonesia Baru dan Tantangan TNI, Pemikiran Masa Depan.” Buku itu antara lain bicara soal doktrin Dwifungsi ABRI yang telah lama bercokol di pentas perpolitikan nasional. Inti sari isi buku itu adalah menganjurkan agar tentara kembali ke tugas profesionalnya sebagai militer.
Mantan Pangdam Jaya ini memperistri Nora Trystiana putri Jenderal TNI Try Sutrisno yang mantan Wakil Presiden RI. Dikaruniai tiga orang anak, Ryano Patriot, Dwinanda Patriot , dan Tryananda Patriot.
Nama alumni pendidikan militer Akabri Darat tahun 1973, ini
mulai dikenal luas saat menjadi salah satu komandan Kontingen Garuda XII di Kamboja pada 1990-an, tatkala berpangkat kolonel. Ia banyak menjadi sumber berita. Dari Kamboja ia menjadi Komandan Brigade Infanteri 17 Kostrad, lalu Aspos Kasdam VII/Wirabuana, lalu Kepala Staf Divif 2/Kostrad, Kasdam II/Sriwijaya, Pangdif 2/Kostrad, Kepala Staf Kostrad, dan yang terbaru sebagai Panglima Kodam V/Brawijaya (1999), Pangdam Jaya (1999-2000), Pangkostrad (Agustus 2000 - 2002), dan menjadi KSAD sejak 2002.
Jenderal berbintang empat, ini berasal dari daerah yang sama dan dekat pula dengan Taufiq Kiemas suami Presiden RI Megawati Soekarnoputri. Maka saat diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), ia harus menghadapi isu bermacam-macam. Misalnya, isu dikatrol menjadi KSAD karena nepotisme dan koneksi Palembang. Tetapi, “Saya bukan Palembangisme,” bantahnya tegas.
Bintangnya mulai bersinar saat berpangkat kolonel. Namun, dia mulai diperhitungkan sebagai prajurit sejati saat melakukan gelar pasukan sehari sebelum Presiden Abdurrahman Wahid menyampaikan pidato pertanggungjawaban di Sidang Istimewa (SI) MPR, Minggu 22 Juli 2001. Itu adalah masa menjelang kejatuhan Wahid.
Sehingga, gelar pasukan itu dinilai berbagai pihak sebagai sinyal keberpihakan TNI terhadap masa depan bangsa yang lebih baik mengingat doktrin politik TNI adalah doktrin politik negara. Apa yang terbaik bagi negara adalah yang terbaik bagi TNI.
Gelar pasukan yang kata Ryamizard sudah seizin Presiden Wahid, bertajuk Apel Kesiapan TNI di Silang Monas tepat di depan Istana Merdeka diikuti tak kurang 2.000 personil TNI dan dipimpin langsung oleh Ryamizard Ryacudu, selaku Pangkostrad jenderal berbintang tiga ketika itu. Antara lain disertakan 81 kendaraan lapis baja dari Kostrad dan Korps Marinir.
Yang menarik, sebelum sampai ke tempat upacara, kendaraan lapis baja itu telah lebih dahulu melintasi jalan-jalan utama di Jakarta dan menarik perhatian masyarakat. Unsur yang dilibatkan ketika itu adalah TNI Angkatan Darat (AD) yang terdiri dari Batalyon 323 dan 320 (420 personel), Yon Linud 328 (160), Kopassus TNI AD (180), Kodam Jaya yang terdiri dari Yon Kav 7 dan 9 (200), Yon 203 (225), Marinir TNI AL (535), Armada Barat TNI AL (206), dan Skuadron 461 Korpaskhas TNI AU (120).
"Tidak ada yang istimewa dalam apel ini. Apel ini adalah apel yang biasa dilakukan seluruh prajurit. Tujuan utama apel ini untuk kekompakan, karena dengan kekompakan yang ditunjukkan ke masyarakat diharapkan masyarakat merasa tenang, aman, dan terlindungi," kata Ryamizard waktu itu.
Apel serupa kembali digelar Ryamizrad menjelang akhir 2003 lalu, sudah dalam jabatannya sebagai KSAD. Namanya Gelar Juang Kartika TNI Angkatan Darat. Pesannya sederhana saja, memberi warning agar Pemilu 2004 tidak berdarah-darah. Namun, anehnya warning ini malah dianggap beberapa orang politisi dan pengamat politik sebagai pertanda masih adanya niat militer memasuki area pilitik. Hal yang kemudian dibantahnya dengan tegas.
Profesional
Sikap profesionalisme Ryamizrad selalu tampak menonjol dalam memandang setiap persoalan konflik di daerah. Tentang keberadaan TNI di daerah konflik itu -- yang suka tidak suka, pasti menimbulkan ekses berupa korban jiwa maupun harta benda di kalangan tentara, gerakan separatis, dan rakyat sipil yang kadang lalu dimanfaatkan sekelompok orang tertentu untuk menyudutkan tentara -- Ramizard menyebutkan bahwa keberadaan militer di wilayah-wilayah konflik itu adalah atas kebijakan pemerintah.
Namun ia melihat, seringkali benturan-benturan yang terjadi di lapangan secara tidak langsung disebabkan oleh kebijakan politik yang tak pasti dalam penyelesaian konflik dan/atau separatisme di daerah.
Dia menggambarkan, tentara maunya tinggal “pithes” atau pencet saja jika ingin menyelesaikan persoalan di daerah konflik.
Namun, menurutnya, setiap konflik mempunyai akar persoalan dan cara penyelasaian yang berbeda terutama dari sudut pandang TNI. Daerah konflik Aceh, misalnya, sepanjang Gerakan Separatis Aceh (GSA) menginginkan merdeka dan tidak mau mengakui NKRI maka Ryamizard yakin perdamaian pasti tidak akan tercapai. Sebab TNI maunya Aceh tetap bagian dari NKRI. Karena itu, solusinya adalah GSA harus bergabung dan mengakui NKRI, baru persoalan akan selesai.
Tentang Papua, menurutnya, penyelesaiannya sudah lebih ke arah politis yang juga melibatkan negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Australia. Dan itu urusannya para politisi. Kata Ryamizard, di sini urusan tentara adalah dengan kekuatan senjata yang tinggal pencet saja sebab jaringan separatis sudah diketahui di mana-mana.
Di kalangan militer, Ryamizard memang dianggap benar-benar prajurit profesional dan tidak banyak melakukan politicking. Karir politiknya diperkirakan akan mencapai puncak, pada waktunya.
Calon Panglima TNI
Presiden Megawati Soekarnoputri menjelang akhir jabatan, tepatnya 8 Oktober 2004, dalam surat kepada DPR mengajukan Ryamizard sebagai calon Panglima TNI menggantikan posisi Jenderal Endriartono Sutarto yang surat pengunduran dirinya telah disetujui.
Alasan Megawati mengajukan Ryamizard di ujung masa jabatannya sebagai presiden itu dikarenakan dua kepala staf TNI lainnya kala itu sudah memasuki masa pensiun. Sementara, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto sendiri sudah dua kali mengajukan pensiun. Makanya, Megawati merasa mengambil kebijakan yang tidak salah. DPR pun sempat memproses dan menyetujui Ryamizard menjadi Panglima TNI.
Namun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menggantikan Mega bulan berikutnya, hanya sepekan setelah dilantik, mengirim surat ke DPR yang intinya mencabut surat pengajuan Presiden sebelumnya.
Surat pencabutan Presiden SBY itu menimbulkan silang pendapat di DPR dan kalangan masyarakat. DPR pun mengajukan hak interpelasi. Lalu Presiden ke DPR dan dicapai kesepakatan bahwa Presiden akan segera mengajukan nama calon Panglima TNI lagi ke Senayan. Untuk mendinginkan suasana, ditiupkan kemungkinan Ryamizard akan diajukan kembali.
Kemudian pada Februari 2005, Markas Besar TNI mengajukan kembali nama Ryamizard dalam satu paket dengan rencana pergantian kepala staf angkatan kepada Presiden. Sebagai orang paling senior di antara ketiga kepala staf angkatan itu, Ryamizard dianggap lebih berpeluang diajukan.
Sejumlah kalangan juga beranggapan Presiden akan mengajukan nama Ryamizard sesuai dengan ketentuan Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 yang mengharuskan Presiden mengajukan satu nama Panglima TNI ke DPR untuk disetujui.
Tapi anggapan dan perkiraan itu ditepis saat Presiden masih memperpanjang masa jabatan panglima hingga akhir 2005. Sebaliknya, Presiden mengganti tiga kepala staf angkatan, termasuk Ryamizard, KSAD waktu itu.
Terkesan Presiden SBY sengaja mengulur waktu untuk menghindari Ryamizard jadi Panglima TNI. Apalagi ketika itu umur Ryamizard sudah menjelang usia pensiun sebagaimana disyaratkan Undang-Undang TNI, 56 tahun.
Publik pun bertanya, apakah memang ada masalah pribadi antara SBY dengan Ryamizard, yang memengaruhi sehingga SBY tak menghendaki Ryamizard jadi Panglima TNI?
Ryamizard dan SBY satu angkatan di Akabri ( masuk 1970). Ryamizard sebenarnya sudah diterima satu tahun sebelum SBY masuk Akabri. Tapi kecelakaan saat pelonco di Gunung Tidar, Magelang, mematahkan kaki Ryamizard. Akibatnya, setahun kemudian Ryamizard mencoba lagi dan lolos. Di situ ia bertemu SBY, menjadi kawan seangkatannya.
Namun, dalam perjalanannya, SBY duluan lulus (1973). Ryamizard baru lulus setahun kemudian, 1974. Tiga orang taruna kawan seangkatannya bernasib serupa, tertunda kelulusannya karena kena skorsing. Salah satu kawannya itu adalah Prabowo Subianto, putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo yang kemudian menjadi menantu mantan presiden Soeharto.
Hubungan Ryamizard dan SBY kembali berlangsung setelah keduanya dilantik menjadi perwira TNI-AD. Tahun 1993, tugas mempertemukan mereka di Markas Brigif Lintas Udara 17/Kujang 1 Kostrad, Jakarta. Saat itu SBY sudah kolonel dan menjadi komandan menggantikan Kolonel Inf. Sugiono. Ryamizard sudah letkol dan menjadi Kepala Staf Brigif Linud 17/Kujang I. Satuan elite ini terdiri dari tiga batalion dan dikenal punya prestasi tempur legendaris. Tahun 1997, mereka bertemu lagi di Palembang. SBY menjadi Pangdam II Sriwijaya, Ryamizard menjadi Kepala Staf Kodam Sriwijaya.
Salah satu orang dekat SBY di Istana menceritakan, sebagaimana ditulis Tempo Edisi 23-29 Januari 2006, terlepas dari terjadinya politisasi Panglima TNI di DPR, Oktober 2004, sebenarnya SBY memang berniat mengajukan nama Ryamizard sebagai pengganti Sutarto. Konon, pada 27 Oktober 2004, sehari setelah SBY mengirimkan surat ke DPR, menurut sumber ini, Presiden bertemu dengan Ryamizard di Istana Merdeka. Pertemuan itu luput dari perhatian wartawan.
Dua jam pertemuan, hanya lima menit mereka bicara serius. Selebihnya, reuni sesama kawan lama. Intinya, Presiden, kata orang dekat SBY ini, minta Mizard membenahi TNI. ”Satu-satunya nama panglima di saku saya adalah Abang (Ryamizard),” kata sumber ini menirukan SBY.
SBY juga menyatakan ingin melakukan pertemuan berkala dengan Mizard. Pesan lainnya, Ryamizard diminta tak banyak bicara dan lebih aktif di kegiatan sosial. Setelah itu, Mizard pun memilih banyak mengerem bicara. Tugas-tugas sosial juga lebih banyak dilakukannya. Misalnya merancang TNI Manunggal Desa di sejumlah desa di Aceh. Bahkan program itu dinilai efektif memulihkan Aceh, pasca-tsunami.
Tapi sejak itu tak ada kabar lagi. Pertemuan itu adalah yang pertama dan yang terakhir kalinya. Selain acara formal, tak ada lagi pertemuan berkala seperti yang dimaksud Presiden. Sampai akhirnya, Presiden memutuskan memperpanjang masa tugas Panglima TNI dan mengganti tiga kepala stafnya, termasuk Ryamizard. ”Sejak itu, Pak Mizard tahu, pertemuan itu tak pernah akan ada,” kata mantan anggota tim sukses SBY ini.
Skenario Istana memang berubah. Sumber Tempo menyebutkan, atas sejumlah masukan, Presiden akhirnya memperpanjang masa tugas panglima demi mengulur waktu. Selain menyiapkan jago baru, juga membuat alasan kuat yang membuat Presiden tidak memilih Ryamizard. Salah satunya adalah karena usia mantan KSAD itu memasuki masa pensiun. ”Bukan cuma kurang sreg, tapi juga perlu adanya penggiliran angkatan untuk Panglima TNI sesuai dengan undang-undang,” kata pengamat politik Ikrar Nusa Bakti kepada Nuraini dari Tempo.
Tapi, yang jelas, kata orang dekat Presiden, Ryamizard tak disukai Amerika. Selain menganggap dia bertanggung jawab atas kasus Timika, Washington kabarnya menilai sosok Ryamizard sebagai jenderal yang punya closed mind (kolot). Salah satu yang disoal adalah buku Indonesia Terjebak Perang Modern yang dilansir Seskoad, akhir Desember 2004. Isi buku itu sedikit-banyak memposisikan Indonesia sebagai pihak yang berseberangan dengan Amerika Serikat.
Buku itu, kata sumber Tempo, sempat dilarang Presiden. Malah dua hari sebelum peluncuran buku itu, panitia akhirnya meminta izin ke Wakil Presiden Jusuf Kalla. Acara berlangsung mulus. Dan jadilah buku itu tanpa ucapan terima kasih kepada Presiden. Ryamizard sendiri membantah ketika dikonfirmasi sikap Presiden soal ini. ”Tidak, kok. Dua hari sebelum peluncuran, Danseskoad sudah berbicara langsung dengan Presiden. Saya kira beliau setuju,” ujarnya.
Soal perdamaian Aceh juga jadi ganjalan. Sikap keras tanpa kompromi mantan KSAD ini dianggap bisa membahayakan perdamaian di Aceh yang sedang dirintis. Apalagi, mantan KSAD ini dianggap tak setuju dengan hasil MOU Aceh di Helsinki. Dan yang terakhir, intinya Istana menyoal loyalitas Ryamizard. ”Termasuk karena terlalu dekat dengan mantan presiden Megawati,” kata sumber Tempo ini.
Agaknya, Ryamizard sudah paham betul, ini adalah babak akhir dari perjalanan kariernya di TNI. Penjelasan Presiden melalui Panglima TNI pekan lalu sudah sangat terang-benderang. ”Presiden memilih KSAU Marsekal TNI Djoko Suyanto demi rotasi di TNI,” kata Sutarto. Tidak dipilihnya Ryamizard, kata Sutarto, karena mantan KSAD itu akan segera memasuki masa pensiun.
Menurut Indra Bambang Utoyo, sudah lama Ryamizard mengetahui babak akhir cerita Panglima TNI. ”Sudah lama ia menyatakan legowo. Yang penting kini baginya, pengabdian bagi negara bisa dengan apa saja,” ujarnya.
Seperti juga lakon Bima, tulis Tempo, tokoh wayang yang digandrunginya, begitulah babak akhir jenderal Ryamizard. Karena terlalu lurus, Bima tak pernah menjadi mahasenapati dalam Perang Baratayuda. Dan Jenderal ”Bima” Ryamizard pun demikian. Ia tak akan menjadi mahasenapati Yudhoyono.